Oleh : Maskun Sopwan
Dalam dunia media massa anda mungkin pernah mendengar kata-kata wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan pencari-cari kesalahan, wartawan 86, dan lain sebagainnya. Entah sejak kapan dan oleh siapa kata-kata tersebut mulai muncul.
Sejak tahun 2015 kalipertama saya terjun ke media massa di salah satu televisi lokal Jek TV hingga menjadi kontributor daerah di televisi nasional iNews TV tahun 2018, kata-kata itu santer terdengar, baik di kalangan pejabat maupun mayarakat. Namun yang jelas kata itu adalah stigma negatif dalam dunia pers, ya ini tidak bisa dipungkiri, karena dunia pers diisi oleh manusia (wartawan) dengan watak yang berbeda.
Sejatinya, media atau pers tak ubahnya seperti kendaraan motor ataupun mobil, kalau ia disetir oleh orang pemabuk, maka dapat anda bayangkan seperti apa jalannya kendaaraan itu, membahayakan dirinya dan orang lain tentunya, namun jika kendaraan itu disetir oleh orang yang berakal sehat, sadar bagaimana keselamatan dirinya dan orang banyak, tentu amanlah kendaraan itu berjalan sebagaimana mestinya.
Menjadi seorang wartawan tidaklah semudah membalikan gorengan ikan. Butuh kecerdasan akal, spritual, emosional dalam mejalankan tugas sebagai corong masyarakat. Proyek, amplop, jabatan, bukanlah tujuan utama wartawan sejati. Tugasnya melaksanakan kegiatan jurnalistik dengan baik dan benar, landasannya tak boleh melenceng dari UU pokok Pers No. 40 Tahun 1999 serta kode etik jurnalistik, yakni akurasi, objektivitas, dan keseimbangan.
Peran wartawan yang dianggap sebagai penyampai informasi lewat tulisan, harus mengedepankan moral kewartawanannya secara benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh kode etik jurnalistik itu sendiri. Disamping itu, wartawan yang juga sebagai agen perubahan sosial (agent of social change) berkewajiban melakukan perubahan perilaku sosial masyarakat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Wartawan merupakan akar kekuatan besar dalam media yang dapat mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir, sikap dan perilaku publik. Karenanya, media selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berfungsi mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi, sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat.
“Ketika teman-teman memberitakan suatu kebathilan, sesungguhnya dia tidak sedang melakukan gosip, tapi dia sedang menunjukkan bahwa yang bathil itu salah. Yang haq itu haq dan yang hoaks itu bathil. Siapa yang bisa menjelaskan itu? Media. Karena orang mendapatkan berita dari media,” begitu kata ustadz Abdul Somad, saat mengisi pengajian tabligh akbar Pemkot Jambi, Selasa (30/1/2018).
Dari sini dapat kita fahami, bahwa pentingnya moralitas wartawan dalam menjalankan tugas. Ia akan dipandang bernilai dan berintegritas saat menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan.
Hanya moral yang baik dan keberhati-hatian yang dapat menolong seorang wartawan dalam urusan ini. Moral bisa untuk dimensi duniawi dan bisa untuk ukhrawi. Rasa tanggung jawab para wartawan muslim kepada Allah dan kepada masyarakat merupakan suatu kewajiban. Firman Allah dalam surat An-Nahlu ayat 125, Artinya, “Ajaklah kepada jalan Tuhannya dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan penerangan yang baik dan berdiskusilah dengan cara yang lebih baik,” (QS. An-Nahl: 125).(*)
Penulis adalah Jurnalis Orbid.id
Discussion about this post