RJ.COM – Puluhan anggota Himpunan Wartawan Daerah (HiWaDa) Provinsi Kepulauan Riau melakukan aksi unjuk rasa di halaman Kejaksaan Negeri (Kejari) Bintan pada Kamis (7/08/2025). Aksi ini dilakukan sebagai bentuk desakan kepada aparat penegak hukum agar segera menindaklanjuti dugaan tindak pidana korupsi dana desa di sejumlah wilayah Kabupaten Bintan, sekaligus menuntut pertemuan langsung dengan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bintan yang baru dilantik.
Massa aksi tiba di Kejari sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka langsung membentuk barisan di depan gerbang kantor kejaksaan, sambil bergantian menyampaikan orasi menggunakan pengeras suara. Sejumlah orator secara bergantian menyampaikan orasi di depan kantor Kejari Bintan.
Ketua Umum HiWaDa Kepri, Erfan Indriyawan, SP, dalam orasinya, menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar unjuk rasa spontan, melainkan langkah yang sudah melalui proses investigasi dan pengumpulan data di lapangan. Menurutnya, HiWaDa telah menerima laporan resmi dari masyarakat, melakukan pengecekan langsung di desa-desa terkait, serta mengumpulkan dokumen pendukung sebelum memutuskan untuk turun ke jalan.
“Kami tidak menuduh tanpa dasar. Kami bukan buzzer bayaran. Kami bukan provokator. Kami datang dengan bukti, kami datang dengan suara rakyat yang muak melihat uang pembangunan desa dikorupsi oleh pejabat yang seharusnya mengabdi!” tegasnya di hadapan massa.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan, HiWaDa Kepri memaparkan sejumlah dugaan penyimpangan, di antaranya:
Pembangunan fiktif, di mana laporan realisasi APBDes menyebut proyek telah selesai 100%, namun di lapangan tidak ditemukan hasilnya.
Pengadaan barang tanpa prosedur, dengan rekanan yang diduga fiktif dan sebagian besar mengarah ke usaha keluarga perangkat desa.
Penggunaan dana desa untuk kepentingan pribadi, yang seharusnya tidak diperbolehkan menurut peraturan.
Pemalsuan laporan pertanggungjawaban (LPJ) dengan kwitansi beli, foto kegiatan yang direkayasa, dan dokumen hasil salinan desa lain.
Penghilangan aset desa, termasuk kendaraan dinas dan tanah kas desa yang dijual tanpa prosedur resmi.
Menurut HiWaDa, praktik-praktik ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi sudah masuk ke kategori kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam aksinya, HiWaDa Kepri mengajukan lima tuntutan utama kepada Kejari Bintan:
1. Memanggil dan memeriksa kepala desa serta perangkat yang diduga terlibat.
2. Membekukan sementara aktivitas keuangan desa selama proses penyelidikan.
3. Melibatkan Inspektorat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika diperlukan.
4. Melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan dana desa dan aset yang hilang.
5. Membuka hasil penyelidikan kepada publik sebagai bentuk transparansi.
“Kami ingin bertemu langsung dengan Kajari baru, untuk menyerahkan data dan menuntut komitmen penegakan hukum. Kami tidak mau lagi mendengar alasan klasik seperti ‘masih dikaji’ atau ‘sedang ditelusuri’ tanpa hasil nyata,” ujar salah satu orator.
Aksi ini berlangsung damai dengan pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Massa aksi terus menyerukan yel-yel “Hidup rakyat! Hidup keadilan! Tangkap maling anggaran!” sambil mengibarkan bendera organisasi dan membentangkan poster berisi tuntutan.
HiWaDa Kepri menegaskan akan terus mengawal proses hukum ini hingga tuntas. Mereka bahkan menyatakan siap kembali menggelar aksi yang lebih besar jika penanganan kasus berjalan lambat atau tidak transparan.
“Kami tidak takut dibungkam, kami tidak takut diintimidasi. Karena diam berarti membiarkan desa hancur oleh maling anggaran. Dan kami memilih bersuara demi kebenaran,” tutup Ketua HiWaDa Kepri dalam orasinya. (Red).
Discussion about this post