Oleh: Zet Haryanto S.H.M.H.
Reformasi tahun 1998 merupakan momentum untuk wujudkan demokrasi sistem politik Indonesia yang lebih inklusif dan responsif, fokusnya berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Membangun sistem yang transparan dan akuntabel, dimana pemimpin dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakan dan perilaku sebagai wujud nyata bekerja dan bermanfaat untuk kepentingan khalayak ramai.
Hermeneutika reformasi memiliki dampak pada beberapa hal antara lain meliputi, transformasi sistem politik nasional hingga berpengaruh sampai didaerah dengan silih bergantinya periodisasi kepemimpinan melalui perhelatan kontestasi.
Kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab sebagai wujud dan wadah ekpresi masyarakat yang mendorong terbentuknya partisipasi masyarakat disetiap pengambilan keputusan dan proses politik dalam rangka peningkatan transparansi dan akuntabilitas pelayanan pemerintahan ditiap kebijakan publik serta penekanan pada upaya perlindungan hak asasi manusia, seiring perubahan tatanan sosial budaya masyarakat yang plural dan dinamis.
Humanisme sebagai paham yang menganut manusia sebagai objek terpenting yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal. Konsep ini bisa dijadikan referensi berpikir sebagai alasan bertingkah laku guna memahami realita yang terjadi berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari akal pikiran yang juga tak lepas dari tempaan pengalaman.
Beberapa hal prinsip hingga patut dijadikan value dalam perspektif kepemimpinan, yaitu standar yang mengatur perilaku untuk mendapatkan nilai kepantasan, agar eksistensi seorang pemimpin lebih terasa berharga sebagai representasi dan identitas masyarakat daerah dimata publik dalam cakupan lebih luas selama periodisasi kepemimpinan kedepan nantinya.
Barangkali terdengar ganjil dan berlebihan ditelinga kalangan pendengung atau pemuja bahkan yang haus akan kuasa tapi kita harus percaya bahwa, perilaku saling menghargai bukan saja bagai cermin yang menggambarkan kepribadian atas sosok seseorang, tetapi lebih jauh harus dijadikan suatu kebutuhan yang harus dilekatkan pada figur pemimpin yang tidak saja memahami tapi mampu mengaplikasikan nilai kemanusaian sebagai bentuk manusia yang beradab dan beradat.
Urgensi akan hal ini diatas, idealnya merupakan asas, walaupun nilai dan ukuran kepantasan tidaklah sama pada tiap personalnya akan tetapi, transformasi reformasi sebagai elaborasi adalah proses perubahan menuju supremasi hukum yang berkeadilan berdasarkan kemanusian yang berketuhanan.
Demikian halnya, inovasi menjadi suatu resolusi dan strategi untuk mendukung suksesnya kontestasi pemilhan umum kepala daerah ditingkat manapun levelnya khususnya era disrupsi. Perkembangan teknologi informasi (digital) memungkinkan perubahan mendasar pada pola komunikasi interaksi juga demikian halnya politik, sebagai aktualisasi dalam perjuangan mencapai tujuan politik memerlukan strategi atau pendekatan baru yang kreatif dan adaptif.
Kreatif disini tentunya diartikan sebagai kemampuan dalam menciptakan hal atau cara baru yang berbeda dari sesuatu yang pernah ada sebelumnya, sehingga diksi politik kreatif dapat didefenisikan sebagai cara mempengaruhi guna mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dengan pendekatan kreatif pula.
Walaupun terdapat celah negatif, cara ini dinilai lebih efektif dengan pertimbangan biaya yang melatarbelakangi jika dibandingkan bandingkan dengan cara konvensional yang kerap digunakan ala ala aktivis mahasiswa zaman dahulu kala saat menyampaikan aspirasi ataupun pesan dalam menyikapi permasalahan yang ada.
Mobilisasi massa dengan alat pengeras suara yang berasal dari banyaknya posko pemenangan menjamur dimana mana tidak saja berpotensi mengganggu aktivitas warga, tetapi juga harus diwaspadai pemicu konflik sesama pendukung yang pada akhirnya mengganggu stabilitas keamanan ketertiban saja.
Politik semestinya tidak melulu tentang permainan kotor dan curang yang isinya tentang perang dengan romansa ketegangan semata. Dengan inovasi pemanfaatan tekhnologi yang kreatif sebagai sarana sosialisasi, para kontestan calon pemimpin didaerah terpolarisasi untuk mengikuti trend selera yang tentunya menyesuaikan pada kebutuhan dengan harapan menunjang elektabilitas atau beresiko untuk ditinggalkan pemilih jika tidak bijak dalam penggunaanya. Harapan akan nuansa kedamaian dan sejuknya suasana ditengah naiknya tensi dan konstelasi politik di masa kampanye tahapan kontestasi tentulah menjadi harapan kita semua.
Sebagai catatan dipertengahan menuju penghujung masa kampanye pilkada tahun politik 2024 kali ini, dengan tanpa bermaksud tendensius lalu menyalahkan kelompok atau golongan tertentu sebagai penyebab, baik selaku tim pemenangan, pendukung (simpatisan) ataupun relawan yang secara terang-terangan menyebut dirinya sebagai pejuang militan sampai dengan tokoh kontestan calon pemimpin daerah yang berlaga perannya .
Jika ditelisik secara cermat, dinamika dibeberapa daerah, dimanapun tingkatannya, baik kabupaten/ kota maupun provinsi diseluruh negeri ini, terjadinya gesekan serta benturan yang telah terjadi sebagai salah satu ilustrasi ketidak matangan calon pemimpin di laga kontestasi untuk berinovasi sekaligus sebagai inspirator yang memiliki peran penting untuk memaknai helatan kontestasi sebagai momentum untuk meraih simpati pemilih ditahapan kampanye saat ini. Fenomena kampanye hitam dengan mengemuka, tindakan saling melaporkan dan atau dilaporkan, sampai pengaduan terjadi dibeberapa tempat adalah fakta yang harus kita terima.
Rasa ketidakpuasan maupun atas dasar kerugian, sampai dugaan menista hingga menyerang kehormatan muncul dipermukaan sebagai dasar dugaan deliknya. Belajar dari masa lalu, maka perilaku humanis dengan metode pendekatan humanistik adalah suatu kebutuhan yang perlu dikedepankan sebagai value untuk mendulang suara oleh para kontestan dengan seluruh unsur yang melekat padanya, mengingat kandidat adalah calon pemimpin sekaligus juga guru yang menjadi panutan masyarakat dimasa kepemimpinannya kemudian hari kelak.
Karena idealnya memimpin dengan nurani, tentulah pesan dan semangat niat baik untuk membangun negeri yang dikampanyekan lebih mudah diterima oleh pemilih sebagai pemegang kuasa tertinggi sesuai amanat konstitusi.
Konklusinya adalah, upaya ini sekaligus alternatif resolusi yang bisa ditempuh, mengingat sekian banyak persoalan lainnya yang menjadi tugas berat atas amanah yang diemban oleh penyelenggara termasuk semua pihak berkepentingan maka, menjadi kewajiban kita semua untuk menjaga agar semua infrasrtuktur politik yang menggerakkan demokrasi mampu meraih dan mempertahankan kepercayaan publik hingga terciptanya ekspektasi Pemilukada yang aman dan damai akan dicapai pada realitanya.
Kekuasaan itu memabukkan..Sabdo Pandito Ratu. Apa yang kamu katakan, itu akan terlaksana. Siapapun nanti yang menjadi pemimpin, jogolatih..Jagalah lidahmu, Jagalah omonganmu..Jangan sampai keputusanmu, permintaanmu, menyulitkan orang lain.
Penulis Zet Haryanto S.H.M.H. – Jambi Perda Riset & Edukasi (JAPRI)
Discussion about this post